MAHALNYA DEMOKRASI, APBD DIKORUPSI

1002 views


Penulis : Mochammad Farisi, LL.M (Ketua KOPIPEDE Prov. Jambi & Akademisi Univ. Jambi)

Pemikiran tentang Mahalnya Demokrasi, APBD Dikorupsi ini saya sampaikan pada diskusi public yang diselenggarakan kerjasam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi dan Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Prov. Jambi dengan tema “Meneguhkan Perspektif Anti Korupsi Calon Kepala Daerah” Jumat 13 Maret 2020. di secretariat AJI-Jambi.
Saya mengawali diskusi dengan menyampaikan beberapa fakta dan data bahwa korupsi adalah musuh utama dan berada didepan mata bangsa Indonesia;
Data KPK, sejak 2004 – 2018 sudah menetapkan 911 orang tersangka dengan latar belakang profesi empat peringkat teratas adalah; a. Politisi, anggota DPR/DPRD (229), b. Swasta, kontraktor/pemborong/rekanan proyek (214), c. Eksekutif / Pemerintah mulai pejabat eselon 1 -3 (192), dan d. Kepala daerah, bupati walikota dan wakil (90) & Gubernur (20).
Kasus korupsi yang paling banyak terjadi adalah suap, fee proyek serta benturan kepentingan pengadaan barang dan jasa, serta penyalahgunaan kewenangan dan jabatan. Praktek area korupsi yang biasa dimainkan yaitu politisasi birokrasi, yaitu kepala daerah menggunakan kriteria politis dari pada kriteria berbasis merit system dalam memilih pejabat SKPD, pengelolaan perizinan ditunggangi praktek pemburu rente, dan kebijakan anggaran, yaitu praktik mengarahkan anggaran di luar kepentingan rakyat dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD.
Biaya pilkada berbanding lurus dengan korupsi di pemerintahan, bila melihat hasil rekam sidang tindak pidana korupsi, mengapa banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi? karena biaya mengikuti pilkada sangat tinggi bahkan sampai harus berutang kepada pemodal besar. Pada akhirnya setelah sang calon terpilih, harus memberikan imbalan berupa kemudahan-kemudahan perizinan dan kuota proyek yang terkoneksi dengan dengan kepala daerah atau parpol
Uji Litbang Kemendagri menghasilkan temuan untuk menjadi bupati/walikota dibutuhan dana 20-30 Milyar, untuk menjadi gubernur 20-100 Milyar. Anggota dewan 300jt – 6 milyar.
Menurut Perludem, pengeluaran ongkos pilkada sampai milyaran tersebut bersumber dari : a. biaya perahu pencalonan kepala daerah, b. dana kampanye (baliho, iklan media, spanduk, rapat terbatas, tatap muka) untuk pencitraan, c. Ongkos survey dan tim pemenangan, dan d. Money Politics.
Coba kita ilustrasikan untuk apa saja biaya yang mencapai miliaran tersebut. Misalnya pilkada Provinsi Jambi terdapat 1.393 desa dan 163 kelurahan, berarti akan ada 1.556 orang yang menjadi koordinator tim sukses untuk tiap-tiap desa. Bila satu koordinator mendapat dana Rp 10 juta saja, maka calon akan merogoh kocek Rp 15.560.000.000,- miliar. Biaya tersebut baru digunakan untuk perkenalan saja belum lagi untuk baliho sosialisasi yang mulai menghiasi jalanan jauh-jauh hari sebelum tahapan kampanye dimulai, menggerakkan mesin partai, membuat kaos, kampanye terbuka, mengundang artis, biaya saksi di tiap TPS, dll.
Faktanya, berdasarkan laporan LHKPN rata-rata kekayaan calon kepala daerah hanya sekitar 6,7 milyar, artinya biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan calon kepala daerah. Menurut IKP Pilkada Serentak 2020 yang dikeluarkan Bawaslu RI, menyatakan money politics (uang, barang & jasa) terjadi di hampir semua tahapan pilkada; pencalonan (biaya perahu partai/mahar), kampanye, masa tenang, dan pemungutan suara.
Hipotesisnya: money politics tinggi menyebabkan pendanaan pilkada tinggi, disisi lain terjadi kesenjangan antara kemampuan keuangan calon dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pilkada. Akhirnya calon mencari dan menerima dana tambahan, dari siapaa…?? Pihak swasta (kontraktor/pemborong) atau “Saudagar politik” yang memberikan sumbangan dana kampanye, akhirnya pada saat menjadi kepala derah terjadi benturan kepentingan (“no free lunch”) yang mengarah pada tindak pidana korupsi.
Sebenarnya untuk mengontrol batas sumbangan “saudagar politik” dan pengeluaran kampanye, sudah ada aturan yang mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas pendanaan pilkada wabil kusus sumbangan dana kampanye, yaitu melalui Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Sumbangan dana kampanye berasar dari 1. Parpol/ gabungan parpol dan 2. Pihak lain yg tidak mengikat. Aturan sumbangan dana kampanye terdapat dalam UU No. 10 Tahun 2016, diantaranya; Ps. 74 (3 dan 4), parpol/gabungan parpol yang mengusulkan paslon wajib punya rekening kusus, Ps. 74 (7), Pemberi sumbangan harus mencatumkan identitas yang jelas, Ps. 74 (9), besaran dan kampanye dibatasi (perseorangan max 75jt & swasta max 750jt), Ps. 75 (1), paslon diwajibkan melaporkan penerimaan dan pengeluaran dan kampanye 1 hari sblm dan sesudah kampanye berakhir, dan Ps. 75 (4), laporan diaudit oleh kantor akuntan public
Faktanya? Temuan JPPR peraturan yang dibuat tidak efektif dilapangan, misalnya penyumbang alamat fiktif tidak bisa dihubungi, modus memecah sumbangan sehingga tidak memenuhi jumlah maksimal, sumbangan lebih besar dari kodisi ekonomi penyumbang.
Bagaimana dengan pilkada serentak 2020? Dengan semakin besarnya pengeluaran kampanye menambah kekhawatiran akan semakin memicu korupsi bila sang calon menang dan menjadi kepala daerah. Logika sederhananya, kepala daerah baru tersebut harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam proses pilkada, sehingga tak heran praktik-praktik korupsi tidak dapat dielakkan lagi. Biaya politik yang terlalu tinggi dan tidak seimbang dengan pemasukan resmi ini akan membuat calon yang mengeluarkan banyak uang pasti akan mengijonkan posisinya nanti untuk ditukar dengan berbagai izin atau pengadaan barang.
Lantas bagaimana meminimalisir pilkada highcost ? pertama, revisi UU Pilkada dan rubah menjadi Pilkada tidak langsung, kedua efektifkan LPSDK, audit yang benar dan beri sanksi tegas bagi pelanggar, tiga revisi UU Parpol, masukkan Sistem Integritas Partai Politik didalamnya, empat Pendidikan politik yang TMS pada masyarakat mengenai pilkada berintergitas, yang menjelakan bahwa memilih adalah KEBUTUHAN bukan sekedar HAK. Masyarakat juga harus cerdas dengan memilih calon kepala daerah yang punya track record dan perspektif antikorupsi. Mereka bercirikan mau melaporkan secara jujur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), memiliki dana kampanye paling kecil, melaporkan secara jujur dan terbuka laporan dana kampanye, tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan pengusaha/pemodal besar, mempunyai program nyata tentang transparansi akuntabilitas kinerja pemda dengan menerapkan teknologi penopang birokrasi seperti e-budgeting, e-purchasing system, e-catalog dan pajak online.

 

Comments

comments

Penulis: 
    author

    Posting Terkait