Penulis : Fikran Jamil (Badan Pengawas dan Konsultasi Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia)
Sepekan lebih berjalan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diputuskan oleh pemerintah perlahan mulai dirasakan efek dominonya,
sejak diumumkan pada sabtu 03 September lalu, seakan menjadi santapan yang nikmat bagi media massa baik cetak maupun online secara serentak menjadikan headline pada kolom beritanya.
Hal ini juga seiring senada dengan respon yang ditangkap oleh mahasiswa dan masyarakat menengah kebawah, organisasi-organisasi mahasiswa, organisasi buruh langsung turun aksi kejalan melakukan protes terhadap keputusan pemerintah tersebut.
Kenaikan harga bahan bakar minyak ini adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan klasik di negeri ini, sudah terjadi sejak era presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman wahid, megawati dan SBY.
Kini, hampir setiap hari di setiap daerah, mahasiswa, buruh melakukan aksi menolak kenaikan harga BBM dan meminta pemerintah untuk mencabut kenaikan harga BBM tersebut.
Konstitusi telah mengatakan peliharalah kehidupan bernegara dengan memanfaatkan sumber daya alam yang adalah milik rakyat, jadi ketika milik rakyat itu tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat itu sendiri, maka tidak heran terjadi demonstrasi, bahkan pengamat politik, Rocky Gerung mengatakan ketika demonstrasi dilakukan tidak heran jika terjadi potensi kerusuhan, tetapi tidak boleh terjadi kekerasan, kan demonstrasi tidak mungkin dilakukan dengan sopan santun, karena demonstrasi adalah protes yang dilakukan atas kebijakan yang tidak pro rakyat.
Lalu, timbul sebuah pertanyaan mengapa pemerintah harus menaikkan harga bahan bakar minyak padahal harga minyak dunia sudah mulai turun dari yang tadinya 120 Dolar/barel, kini turun menjadi 92,45 Dolar/barel, bahkan negara-negara lain pun banyak yang malah menurunkan harga jual bahan bakar minyak, alasan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak adalah karena pemerintah menarik subsidi untuk bahan bakar minyak karena subsidi yang dialokasikan cenderung menyasar ke kelompok yang tidak berhak (mampu) dan dinilai tidak tepat sasaran.
Kemudian pemerintah menggantinya dengan BLT (bantuan langsung tunai) yang diberikan kepada masyarakat penerima manfaat dan kepada para pekerja, yang tujuannya katanya agar daya beli masyarakat dan konsumsi masyarakat menjadi lebih baik.
Tetapi, apakah BLT yang diberikan ini sudah tersalurkan secara tepat, atau pemerintah melakukan ini hanya untuk membujuk masyarakat saja agar “manut” kepada apapun kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah,
Kenaikan harga BBM ini juga tentunya akan memberikan efek domino, khususnya terhadap perekonomian Indonesia, apalagi perekonomian di Indonesia baru saja mencoba untuk stabil dan bangkit akibat dari dampak covid-19 yang terjadi beberapa tahun ini.
Naiknya harga bahan pokok, ongkos transportasi umum yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat khususnya menengah kebawah nantinya akan berdampak juga kepada naiknya tingkat inflasi di Indonesia, dan dikhawatirkan akan meningkat pula angka kemiskinan.
Khususnya inflasi, hitung-hitungan yang beredar jika harga BBM naik 500 rupiah/ liter akan menyebabkan inflasi bertambah sebesar 1%, artinya ketika pemerintah menaikkan harga BBM dengan harga saat ini maka inflasi akan berpotensi naik sebesar 7-8%, efek lain yang akan terasa ketika inflasi naik adalah sektor keuangan, ketika inflasi naik, tingkat suku bunga juga akan meningkat, ketika suku bunga kredit meningkat, investasi sektor riil akan tertekan, jika hal ini terjadi, dikhawatirkan ekonomi kita tumbuh rendah atau bahkan tidak tumbuh sama sekali, dan tanpa adanya investasi pula, lapangan kerja baru tidak tercipta dan akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Menurut Bima Yudhistira (Direktur CELIOS), angka kemiskinan di Indonesia bisa bertambah hingga 10,5% akibat kenaikan harga BBM ini.
Lalu, apakah pemerintah tidak ada solusi lain selain menarik subsidi dan menaikkan harga BBM?
menurut Ekonom Senior Indonesia Rizal Ramli, pemerintah harusnya kreatif dan punya solusi lain selain menarik subsidi dan menaikkan harga BBM, yaitu dengan menekan efisiensi anggaran pertamina, kemudian pemerintah harusnya merestrukturisasi utang negara yang besaraannya hingga 400 triliun Rupiah per tahun atau 1/3 dari APBN.
Selain itu menurut penulis, pemerintah juga bisa menghentikan sementara proyek-proyek besar yang tidak terlalu penting, termasuk pembangunan IKN, pembangunan IKN yang nantinya ketika telah selesai dibangun yang menikmatinya juga pemerintah bukan rakyatnya, padahal pemerintah menggunakan uang rakyat, lalu anggaran-anggaran lembaga pemerintah yang dalam waktu dekat lalu baru saja dinaikkan, salah satunya anggaran Mahkamah Konstitusi yang naik hingga 4 kali lipat dan rasanya tidak terlalu urgent melihat kondisi sekarang.
Bahkan ekonom senior Faisal Basri juga mengungkapkan kenaikan harga BBM ini hanya jadi pemantik saja, jika sudah mencapai puncaknya ditakutkan hanya krisis besar yang bisa menumbangkan rezim ini, ditakutkan kita tidak mampu menanggung beban krisis besar itu.
Indonesia sudah terlalu kompleks dengan berbagai macam masalah, kemarin kita sudah menghadapi kenaikan minyak goreng, sekarang kenaikan bahan bakar minyak, lalu bagaimana pemerintah kedepan bisa menyelesaikan ini semua, jika semuanya hanya dibawa “guyon” saja.
Pemerintah juga harus memikirkan generasi kedepannya yang akan melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini. (*)