rakyatjambi.co, KUALA TUNGKAL- Hotel kelas melati merupakan salah satu sarana khusus bagi mereka yang ingin bermalam di sebuah kota atau tempat tujuan guna beristirahat dan melepaskan lelah.
Meski dengan fasilitas seadanya dan tak seperti kelas hotel berbintang, secara fungsi hotel melati sama halnya dengan hotel berbintang, yakni sebagai tempat beristirahat.
Namun harus diakui secara fasilitas hotel melati jelas jauh berbeda, bayangkan saja hanya dengan merogoh kocek mulai dari Rp 150 ribu hingga sampai Rp 200 ribuan saja kita bisa menikmati nyamannya beristirahat di hotel berkelas melati.
Fasilitas yang sederhana hanya dengan wc dan bak mandi, kipas angin, televisi serta sedikit perlengkapan tidur seperi sofa, semua bisa dinikmati ketika beristirahat di hotel melati.
Sayangnya, hotel kelas melati yang tidak terlalu memberikan fasilitas “wah” ini ternyata malah disalahgunakan untuk fasilitas lain, berupa sarana jasa prostitusi alias “esek- esek” yang menawarkan wanita malam dengan tarif harga yang relatif terjangkau mulai dari Rp 200 hingga Rp 500 ribu. Hal ini terjadi di sejumlah hotel berkelas melati di Kota Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjab Barat, Provinsi Jambi.
Meski pernah terjaring razia oleh Satpol-PP, namun sang pemilik hotel masih saja nekat menjadikan tempat usahanya itu sebagai sarana bisnis mesum.
Dunia esek-esek di Tanjab Barat memang belum ada habisnya.
Mereka para pelaku seakan larut dan terbuai dengan dosa hingga lupa akan adat ketimuran. Sebab, yang dipikirkan hanyalah kesenangan.
Kemajuan teknologi dan sarana komunikasi yang semakin canggih membuat para penjaja seks dan pria hidung belang bisa dengan mudah melakoni petualangan seksnya. Praktek prostitusi dengan melibatkan pekerja hotel menjadi pilihan bagi mereka dalam melakukan transaksi. Ada pula yang memakai jasa “papih” (sebutan untuk germo) yang kerap berada di hotel melati. Mereka menganggap dengan cara tersebut lebih aman dalam bertransaksi dan aman dari razia petugas.
Maraknya bisnis prostitusi terselubung di Tanjab Barat terbukti nyata. Pada saat HJ nongkrong di salah satu hotel kelas melati di Kuala Tungkal beberapa waktu lalu, sekitar pukul 24.00 WIB, terlihat sejumlah pria hidung belang memasuki hotel tersebut lalu ngamar dengan wanita Pekerja seks Komersial atau PSK.
Setelah keluar dari kamar, sang hidung belang pun pergi meninggalkan PSK itu. Kemudian, HJ pun mencoba menemui sang PSK dan berhasil mewawancarainya. Sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya), usianya telah 38 tahun.
Kepada HJ Bunga mengaku terjun ke “dunia hitam” untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.demi menghidupi seorang anaknya yang kini berada di pulau jawa.”Ya ekonomi, anak satu di Jawa, suami sudah ga ada (bercerai),”terang Bunga.
Selain memboking kamar untuk berkencan, ternyata terkuak fakta baru yang mengejutkan. Betapa tidak, sebagian PSK yang berada di hotel melati selain di boking dari luar ternyata ada juga yang sehari hari nya tinggal di hotel tersebut. Mereka sengaja distand bykan tempat oleh pemilik hotel. Ironinya, petugas kasir yang mendapat shiff malam secara terang terangan ikut mempromosikan jasa wanita PSK ke setiap tamu pria pengunjung hotel.”Saya baru setahun disini bg, kami memang tinggal di hotel inilah ,”beber Bunga.
Dimalam berbeda dan lokasi yang sama, RJC kembali berbincang dengan seorang PSK lainnya, sebut saja Mekar (bukan nama sebenarnya), usianya 40 tahun. Perempuan asli Pacitan, Jawa Timur ini mengaku hanya sesekali saja berada di Tungkal.
Menurut Mekar, di hotel melati dirinya lebih mudah mendapatkan pria matang berduit, karena tinggal menunggu kontak dari sang petugas hotel.“Saya tinggal di Selincah (Daerah Kota Jambi), ke sini (Tungkal) kadang kadang, malam ini tidur disini, besok pagi balek ke Jambi naik teravel,” ucap Melati, dengan sesekali memperlihatkan senyum manisnya.
Mekar mematok tarif harga yang berbeda ke setiap pria hidung belang yang menjadi tamunya.”Kalau keluar sekali Rp 200 ribu, kalau sampai pagi ngamarnya, mentok mentoknya Rp 500 ribu bg,”terang Mekar dengan sikap genitnya.
Sementara itu, salah satu petugas hotel melati yang mendapat shiff kerja malam mengaku mendapat upah dari sang PSK atau Pria hidung belang Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu .”Cewek ga bg, yang itu rambut merah Rp 300 ribu bg ga kurang,” ujar patugas hotel sembari memberi tahu PSK yang di maksud.
Dengan adanya praktik prostitusi terselubung yang kian memprihatinkan ini, membuat
Ketua umum HMI Cabang Tanjab Barat Abd. Kadir Hamka angkat bicara. Menurutnya, kini fenomena seks komersial sudah masuk dalam tataran masyarakat yang dinilai sudah cukup meresahkan.”Kuala Tungkal kota yang sangat terkenal dengan kota yang agamis kini telah mulai tercoreng dan rusak dengan maraknya isu bahwa kota Kuala tungkal telah menjadi kota yang sangat bebas dengan praktek prostitusi, walaupun Pemerintah daerah telah membuat PERDA tentang praktek ini yang mana bagi pelaku prostitusi seperti mucikari germo, pemilik tempat termasuk pekerja seks komersial (PSK) akan di kenakan denda hingga Rp 50 juta, akan tetapi hal itu tidak menjadi ketakutan bagi pelaku prostitusi,”kata Abd. Kadir Hamka, Minggu (25/12/16).
Berbicara mengenai prostitusi, jelas Hamka, setidaknya ada dua hal yang terbayang di fikiran setiap individu, yaitu seks dan uang. Cukup beralasan memang, mengingat kedua hal tersebut merupakan dua pokok hal yang “wajib” ditemukan dalam praktik prostitusi.”Secara umum, prostitusi atau biasa disebut istilah pelacuran merupakan penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang biasa menjual jasa seksual atau yang akrab di telinga kita dengan sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK) dipandang begitu buruk dan hina hingga menjadi musuh masyarakat,”ucapnya.
Walau demikian, dalam praktiknya masih banyak ditemukan lokasi-lokasi yang menjadi tempat penjualan jasa seksual, bahkan selalu bertambah subur dari waktu ke waktu. Salah satunya hotel melati.
Menurut Hamka, masalah prostitusi dapat digolongkan ke dalam masalah sosial karena menyangkut nilai-nilai sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat. Untuk menanggulanginya, maka perlu perhatian besar dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.”Banyak anggapan jika selama ini pemerintah, khususnya pemerintah daerah belum bertindak serius dalam penanganan masalah prostitusi ini sehingga masih banyak terjadi kasus prostitusi, baik yang terungkap maupun yang masih tersembunyi,”paparnya.
Dijelaskannya, Salah satu faktor penyebab terjadinya prostitusi yaitu akibat kurangnya pendidikan moral dan agama, sehingga para pelaku nekat menghalalkan praktik prostitusi untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup.”Banyak para PSK yang terpaksa melakukan kegiatan tersebut, kemungkinan karena situasi ekonomi yang berat,”ungkapnya.
Lebih jauh Hamka menambahkan, sebagai kumpulan manusia yang hidup dalam suatu negara, maka pemerintah mempunyai tanggung jawab besar terhadap masalah prostitusi. Terutama MUI dan Kemenag, yang dalam hal ini membidangi masalah moralitas dan perdagangan manusia.”Saya rasa Inilah kondisi yang terjadi di hampir seluruh bagian negeri ini, oleh karena itu sangat di perlukan kerja sama dari semua pihak, baik Pemerintah, Aparat, Tokoh Agama maupun seluruh lapisan masyarakat dalam penanganan masalah sosial ini, tentunya dengan tidak merugikan pihak manapun,”tandasnya.(tim)