Kasus Bullying jadi Tranding Topik, Komunitas Peduli Pengasuhan Berbasis Hak Anak Keluarkan 4 Rekomendasi untuk Pemangku Kepentingan 

925 views

JAMBI – Akhir-akhir ini sosial media dibanjiri video dan foto terkait kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak atau pun anak kepada anak lainnya.

 

Unggahan-unggahan tersebut meskipun bertujuan untuk mendesak pihak berwenang untuk turun tangan, tetapi sudah tidak pada tempatnya, tidak tepat bahkan melanggar UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014.

 

Pemberitaan terkait kasus anak semakin tidak memperhatikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Berdasarkan hal tersebut,

 

Komunitas yang peduli pada pengasuhan berbasis Hak Anak meliputi Akademi Suluh Keluarga, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (disingkat LPAI ), KerLiP atau Perkumpulan Keluarga Pendidikan,

 

Asah Pena atau Asosiasi Sekolahrumah dan Pendidikan Alternatif dalam konferensi pers via zoom yang diikuti sedikitnya 100 peserta Senin siang 09 Oktober 2023 hari ini mendesak semua pihak untuk memperkuat sosialisasi dan pelatihan terkait UU Perlindungan Anak dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, segera membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dan pembentukan kembali Departemen di Kemendikbud yang khusus berbicara tentang Kepengasuhan (Parenting).

 

Prof. Dr. Seto Mulyadi, M.Psi, Psikolog – Ketua Umum LPAI dalam rilisnya menyampaikan menurut data di laman Simfoni Kementerian PPA per 3 Oktober 2023 tercatat ada 20.270 kasus sepanjang Januari 2023 sampai hari ini. Dari jumlah tersebut, sebanyak 7.3% korban berusia 0-5 tahun, 18.0% korban berusia 6-12 tahun, dan 32.1% korban berusia 13-17 tahun. Dari jumlah tersebut, tercatat 80% korban adalah perempuan.

Adapun jenis kekerasan yang dialami mulai dari yang tertinggi sampai terendah adalah

 

sebagai berikut: kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, Kekerasan lainnya, penelantaran, trafficking dan eksploitasi. Adapun pelaku 89.5% pelaku berjenis kelamin laki-laki, yaitu (menurut persentase tertinggi sampai terendah) pacar/teman, suami/istri, orang lainnya, orangtua, tidak diketahui, tetangga, keluarga, guru, rekan kerja dan majikan. Data tersebut didapat dari kasus yang terlaporkan, dan patut diduga jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar.

Menurut Data Indonesia, pengguna internet di Indonesia per Januari 2023 tercatat sebanyak 212,9 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 167 juta orang mengakses sosial media, 98,3% pengguna mengakses melalui telepon genggam.

 

Menurut catatan Data Indonesia pengakses beberapa sosial media adalah sebagai berikut: Facebook sebanyak 119,9 juta pengguna, Youtube sebanyak 139 juta pengguna, Instagram sebanyak 89,15 juta pengguna, Tiktok sebanyak 109,9 juta pengguna, Linkedin sebanyak 23 juta pengguna, Snapchat sebanyak 3,55 juta pengguna, Twitter sebanyak 24 juta pengguna. Sebanyak 83,2% pengguna memanfaatkan sosial media untuk mencari informasi, 73,2% mencari ide dan inspirasi baru, 73% untuk berhubungan dengan keluarga atau teman dan 65,3% mengisi waktu luang.

Dampak baik dari semakin mudahnya akses ke sosial media adalah percepatan penyebaran informasi serta pemanfaatan tekanan sosial dalam penyelesaian kasus, dalam hal ini kasus anak. Sayangnya kemudahan ini belum disertai dengan peningkatan literasi digital terkait perlindungan anak dan perempuan.

Kajian Kebijakan Anak yang berhadapan dengan Hukum UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014 mendefinisikan anak sebagai “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” adapun perlindungan adalah “segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Adapun pihak yang berkewajiban melakukan perlindungan adalah Negara; Pemerintah Pusat; Pemerintah daerah; Masyarakat; Sekolah/Madrasah; Keluarga; dan Orang Tua, ” terang Kak Seto itu.

 

Lebih lanjut UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014 mengatur tentang klaster perlindungan khusus yaitu untuk “menjamin perlindungan diberikan kepada anak-anak yang berada dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, dalam situasi eksploitasi, dan termasuk kelompok minoritas dan terisolasi. Serta memastikan agar anak-anak dalam kondisi tersebut tetap terjamin hak-haknya.” Di dalam perlindungan tersebut, UU memerintahkan untuk melakukan upaya penanganan yang cepat, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga tidak mampu; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses Peradilan.  Khusus bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, UU Sistem Peradilan Pidana Anak no 11 tahun 2012 mengatur bahwa peradilan anak bersifat Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Selanjutnya diatur bahwa penyelesaian perkara Anak dialihkan dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, ” katanya.

 

Kedua UU tersebut jelasnya menekankan pada perlindungan akan masa depan anak, baik pelaku maupun korban. Oleh karena itu seluruh pihak yang termasuk di dalam pihak yang wajib melakukan perlindungan harus memastikan bahwa proses pelaporan, pemeriksaan, peradilan dan sampai penahanan tetap memperhatikan prinsip restorasi, dan bukan pembalasan.

 

Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan UU Perlindungan Anak no 35 tahun 2014 mengatur bahwa “setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.” Pemerintah kemudian merespon dengan mengeluarkan Permendikbudristek no 46 tahun 2023 yang mendefinisikan kekerasan sebagai “setiap perbuatan, tindakan, dan/atau keputusan terhadap seseorang yang berdampak menimbulkan rasa sakit, luka, atau kematian, penderitaan seksual/reproduksi, berkurang atau tidak berfungsinya sebagian dan/atau seluruh anggota tubuh secara fisik, intelektual atau mental, hilangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dengan aman dan optimal, hilangnya kesempatan untuk pemenuhan hak asasi manusia, ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, kerugian ekonomi, dan/atau bentuk kerugian lain yang sejenis.”

Permendikbudristek tersebut tidak hanya berfokus pada penanganan tetapi juga menekankan pentingnya pencegahan, yaitu “tindakan, cara, atau proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan Kekerasan di satuan pendidikan.” Lingkup permendikbudristek ini mencakup perlindungan bagi Peserta Didik, Pendidik, Tenaga Kependikan dan Warga Satuan Pendidikan lainnya. Selanjutnya permendikbudvtersebut secara rinci menyebutkan bentuk-bentuk kekerasan dan juga tata cara pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan yang selanjutnya disingkat TPPK yaitu tim yang dibentuk satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan. Pelaksanaan pencegahan, penanggulangan dan restorasi kekerasan di satuan pendidikan dibebankan pada ketiga bagian dari Trisentra Pendidikan, yaitu Masyarakat/Pemerintah, Satuan Pendidikan dan Orang tua. Dengan adanya UU dan Permendikbud yang menegaskan pentingnya perlindungan anak dari kekerasan, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah dan satuan pendidikan untuk tidak membentuk Satuan Tugas yang bekerja tidak hanya menangani namun juga mencegah dan merehabilitasi.

 

Peliputan berita terkait Anak Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2019 mengatur tentang tata cara peliputan kasus yang menyangkut anak. Terdapat 12 (dua belas) poin yang disebutkan dalam pedoman tersebut, yaitu merahasiakan identitas anak utamanya terduga dan atau tersangka, pemberitaan ditulis dengan faktual menggunakan kalimat/narasi/visual/audio yang positif, empati dan tidak mendeskripsikan atau merekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis, tidak menggali informasi terkait hal-hal di luar kapasitas anak, penggunaan visual dalam mendukung berita tidak boleh menyiarkan identitas atau asosiasi identitas anak, pemberitaan mempertimbangkan dampak negatif terhadap psikologi anak, tidak menggali informasi anak yang dilindungi LPSK, tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus di mana pelaku belum ditangkap/ditahan, menghindari pengungkapan identitas korban kejahatan seksual, pada kasus penculikan maka identitas boleh diungkapkan, identitas anak terlibat SARA atau politik tidak boleh diungkap, tidak membuat pemberitaan berdasarkan materi media sosial dan menghormati ketentuan UU Peradilan Pidana Anak.

Pada faktanya Pedoman ini tidak diindahkan, dilanggar dan dibiarkan. Pemberitaan terkait anak dibuat sangat terbuka dengan susunan bahasa provokatif dan mendorong pada pembalasan dendam.

 

Atas kajian diatas, Komunitas yang peduli pada pengasuhan berbasis Hak Anak,  merekomendasikan:

Pertama Pelatihan terkait Hak Anak, Sistem Peradilan anak dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak tidak hanya pada wartawan tetapi pada semua pengguna Sosial Media.

Kedua, mendesak Dewan Pers untuk lebih aktif memastikan pemahaman dan penegakan pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

 

Ketiga, mendesak Dinas Pendidikan tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota untuk secara proaktif melaksanakan Permendikbudristek no 46 tahun 2022 dan menyediakan dukungan baik sarana dan prasarana bagi satuan pendidikan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan yang terakhir atau poin ke empat Mendesak Pemerintah pusat untuk kembali menghidupkan Direktorat Kepengasuhan guna kembali menggiatkan Kepengasuhan (Parenting).

 

 

Gambaran singkat tentang pihak yang mengeluarkan rekomendasi, Akademi Suluh Keluarga: Akademi Suluh Keluarga adalah sebuah lembaga pemberdayaan anak dan keluarga yang didirikan pada tahun 2020. Sejak awal dibentuk, ASK menjalankan Kultur Parenting Pagi secara online setiap hari Senin dan Jumat pukul 07.00 – 08.00 WIB. Whatsapp Group kami sudah beranggotakan 500 orang dari seluruh Indonesia.

 

LPAI, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (disingkat LPAI ) adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada ranah perlindungan anak di Indonesia. LPAI berperan dalam memajukan hak-hak anak di Indonesia melalui penanganan dan pendampingan sejak pendiriannya pada 1997. LPAI memiliki mitra Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di tingkat daerah. Pembentukan LPA bertujuan untuk memberikan perlindungan hak-hak anak dan berfungsi untuk melakukan pencegahan, pengembangan, dan penunjang agar tumbuh kembang dan kehidupan anak terjamin.

 

KerLiP atau Perkumpulan Keluarga Pendidikan didirikan pada 25 Desember 1999. Sejak awal dibentuk, KerLiP dibawah pimpinan Yanti Sriyulianti terus konsisten memastikan perlindungan perempuan dan anak di semua lini. Saat ini KerLiP tengah fokus mengembangkan 19 PKBM di daerah-daerah tertinggal di Kampar.

 

Asah Pena Asah Pena atau Asosiasi Sekolahrumah dan Pendidikan Alternatif adalah sebuah lembaga nirlaba yang didirikan pada 4 Mei 2007 oleh beberapa tokoh pendidikan yang peduli pada pendidikan non formal dan informal khususnya sekolahrumah. Lembaga ini dipimpin oleh Prof. Dr. Seto Mulyadi, M.Psi, Psikolog dan saat ini sebagai Sekjen keempat adalah Anastasia Rima H. Asah Pena sangat aktif melakukan advokasi kebijakan khususnya kebijakan pendidikan non formal dan informal. (opi)

 

 

Comments

comments

Penulis: 
    author

    Posting Terkait