Penulis : Dian Adriyanti Mahasiswi Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya, Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Pendahuluan
Rivalitas Amerika Serikat-Cina di Natuna Utara menjadi salah satu peristiwa perebutan
kekuasaan dan juga kepentingan nasional. Hal ini disebabkan oleh posisi kedua negara dalam
wilayah tersebut berseberangan. AS, walaupun belum menandatangani The United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, memiliki tanggung jawab untuk menjaga
keamanan melalui free navigation. Dilain hal, pemerintah Cina mengadopsi pengalaman jalur
sutra atau jalur dagang yang sudah ada di era dinasti. Bahkan, Beijing sudah mengakui wilayah
tersebut hampir 90%.
Perbedaan persepsi tersebut mengakibatkan instabilitas keamanan terutama pada saat kedua
negara meningkatkan intensitas aktivitas militer. Salah satu wilayah yang terancam adalah
Indonesia. Maka daripada itu, tulisan ini akan menganalisis posisi Indonesia dalam konflik
tersebut secara perspektif geopolitik. Hal ini dilakukan untuk menilai stabilitas konsep politik
bebas aktif yang dimiliki Indonesia sebagai dasar dari politik luar negeri.
Pembahasan
Secara geopolitik, kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah persaingan strategis yang
mempunyai peran penting di dunia. Hal ini meningkatkan perdebatan geopolitik rivalitas
Amerika Serikat-Cina pada kawasan Asia Tenggara untuk memberikan paksa dalam
meningkatkan pertumbuhan di negara tersebut. Asia Tenggara merupakan jantung bagi
kawasan Asia pasifik yang mempunyai kelebihan dari aspek geografis, ekonomi, bahkan
politiknya, termasuk juga salah satunya Indonesia. Disini, Indonesia memiliki posisi yang
penting pada perdagangan dunia karena letak geografisnya disebut dengan posisi yang
strategis karena berada jalan utama untuk perdagangan dunia. Kemudian hal inilah yang
mendorong kepentingan dan menjadi arena rivalitas Amerika Serikat-Cina. Politik luar negeri
bebas aktif Indonesia di mulai dari kemerdekaan, hingga saat ini masih relevan untuk
menghadapi tatanan politik regional maupun global. Namun, politik luar negeri tersebut tetap
harus jelas, karena akan mengikuti gerak dalam perkembangan politik global. Sebagai contoh
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membawa politik dynamic equilibrium
(keseimbangan dinamis). Dynamic equilibrium adalah pandangan bahwa kekuatan politik di
dunia harus secara bersama-sama menciptakan stabilitas yang baik demi keamanan maupun
ekonomi, tanpa mengandalkan kekuatan besar. Kebijakan ini perlu adanya wadah organisasi
secara khusus, dan wadah multilateral secara umum di Asia Tenggara. Kebijakan ini merupakan
salah satu tindakan terhadap rivalitas Amerika Serikat–Cina.
Tahun terakhir, Natuna Utara menjadi kawasan bagi rivalitas antara Cina dan AS. Pada awal
tahun 2009, beberapa kapal nelayan Cina berusaha memintas kabel penyambung peralatan
sonar yang ditarik kapal pemantau AS, USNS Impeccable, di lepas pantai Pulau Hainan.
Kemudian, kapal selam Cina membenturkan peralatan sonar bawah laut yang ditarik kapal
perang AS, USS John McCain, di Subic Bay, lepas pantai Filipina. Kejadian-kejadian tersebut
yang menyebabkan peningkatan ketegangan diplomatik di antara dua negara ini. Cara
memperluas pengamatan di wilayah tersebut, Cina mengeluarkan kapal fregat Quijing, yang
mempunyai peralatan pemburu kapal selam asing. Kapal ini akan diposisikan di Natuna Utara.
Posisi kapal fregat tersebut menjadi pengintaian di dasar laut, yang ada di seluruh Asia untuk
mendengarkan pergerakan kapal selam Rusia, Cina kini siap menjalankan jaringan sama
dengan yang di Natuna Utara dengan tujuan untuk memperkuat dan menyebarluaskan
pengawasan terhadap aktivitas di wilayah tersebut.
Rivalitas ini semakin jelas pada saat Cina mulai melakukan pertempuran dengan kapal perang
AS USS Lassen yang berusaha untuk menangkap informasi terkait pulau buatan yang
dikerjakan oleh Cina di perairan yang dipersengketakan tersebut. Keberanian Cina untuk
melakukan pertempuran langsung terhadap kapal perang AS menampakkan kesiapan dari
negara tersebut untuk berhadapan dengan AS. Bahkan dalam pernyataan resmi pemerintah
Cina menyatakan bahwa negaranya siap untuk menghadapi siapapun termasuk AS apabila
mengganggu wilayah yang menjadi klaimnya di Natuna Utara. Semenjak Cina berusaha untuk
meningkatkan kedatangannya di wilayah konflik dengan membangun pulau buatan untuk
kepentingan militer di Natuna Utara, AS selalu aktif melakukan pemantauan terhadap aktivitas
tersebut. Di wilayah tersebut AS telah meletakkan pesawat pengintai tanpa awak seiring
dengan penempatan pasukan. Strategi ini dilakukan untuk memantau setiap aktivitas dan
pergerakan dari Cina di wilayah Natuna Utara. AS memahami bahwa kapabilitas angkatan laut
Cina saat ini sedang berusaha untuk menyaingi kekuatan angkatan laut AS. Cina yakin bahwa
rahasia untuk memperluas pengaruh di Asia Tenggara adalah dengan menjatuhkan angkatan
laut AS yang dominan.
Persaingan Amerika Serikat-Cina sangat melekat pada lingkungan strategis yang mengelilingi
Indonesia. Apabila tidak menyadari hal ini, otomatis Indonesia tidak berhasil dalam
mendefinisikan kepentingan Indonesia dan bahaya yang ada dalam rivalitas tersebut.
Mengambil sikap terhadap hal tersebut Indonesia sangat berkepentingan dalam menjaga
kawasan untuk mendirikan kedaulatan. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan wilayah
sumber daya alam yang paling penting untuk dijaga. Hubungan antara Indonesia dengan
negara-negara yang berada di Asia Tenggara juga ikut serta dalam menentukan translasi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak memihak atau biasa disebut non blok,
namun tetap menjalin hubungan dengan Amerika Serikat maupun Cina. Di sisi lain, Indonesia
dan Tiongkok melakukan kerja sama relasi strategis berupa latihan bersama. Salah satu faktor
utama yang membuat Indonesia tidak memihak pada satu kekuatan besar adalah pengalaman
embargo Amerika Serikat terhadap Indonesia pada perubahan order baru ke orde reformasi.
Posisi kepemimpinan Indonesia yang kuat di ASEAN bergantung pada kenetralan tersebut,
namun di sisi lain memanfaatkan kekuatan besar yang sudah terlanjur melakukan penerobosan
di Asia Tenggara. Politik bebas aktif Indonesia, rivalitas Amerika Serikat-Cina, dan hubungan
dengan negara di Asia Tenggara adalah aktan yang akan membentuk sistem jejaring. Jika ingin melihat politik bebas aktif Indonesia, dengan menggunakan lensa berpikir sistemik jejaring ini.
Apabila aktan tersebut tidak ada, maka politik bebas aktif Indonesia hanya akan menjadi
semboyan saja. Pemasokan kapal selam Chang Bogo akan meningkatkan kekuatan translasi
politik bebas aktif dalam segi ruang rantai pasok global, dan akan bertambah pula kekuatan
gentar pertahanan maritim Indonesia. Aktan-aktan tersebut mentranslasikan Indonesia politik
bebas aktif, dan sebaliknya.
Kesimpulan
Dalam menghadapi rivalitas Amerika Serikat–Cina, Indonesia harus aktif sebagai jembatan
bahkan perantara perdamaian antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Politik luar negeri bebas
aktif sebenarnya mendukung Indonesia melakukan hal tersebut, dan manfaat yang akan
diperoleh sangat besar baik dari sisi diplomasi; keamanan; maupun ekonomi. Rivalitas Amerika
Serikat–Tiongkok memang musibah bagi kawasan manapun yang ditulari oleh rivalitas
tersebut, namun rivalitas ini berbeda dengan era Perang Dingin. Disini Cina tidak
memindahkan ideologinya ke negara lain seperti yang dilakukan oleh Uni Soviet. Cina hanya
menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat dari sistem ekonomi politik liberal-kapitalisme.
Oleh karena itu, dua kekuatan besar tersebut tidak akan berperang satu sama lain. Cina yang
diterima dengan respons reaktif oleh Amerika Serikat dapat memecah perang di antara
keduanya. Posisi Indonesia dengan politik bebas aktif akan sangat bermanfaat menenangkan
rivalitas tersebut. Politik bebas aktif untuk menghadapi lingkungan strategis maritim di Asia
Tenggara, adalah memperkuat keikutsertaan Indonesia dalam rantai pasok global, dan
mempertahankan ketidakberpihakan. Secara jelas strategi ini dalam kondisi keamanan
maritim secara koheren, dan dapat mempersatukan sikap Indonesia secara koheren.