Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Di Provinsi Jambi desentralisasi besar-besaran yang terjadi pada tahun 1999 membuka jalan bagi instansi pemerintah untuk menerbitkan konsesi lahan kepada para investor berkantong tebal yang berlomba-lomba mengambil bagian dari ledakan bisnis perkebunan sawit. Masing-masing instansi pun mengembangkan peta mereka sendiri.
Jambi dengan jumlah penduduk sekitar 3,4 juta jiwa. Luas wilayah kurang lebih 5 juta hektar dimana 2,1 juta hektar berupa hutan dan 0,6 juta hektar adalah lahan gambut. Potensi lahan ini mengandung konflik yang belum terurai sampai hari ini.
Konflik lahan di Indonesia dari tahun ke tahun terus bertambah. Penyelesaian atas kasus tersebut masih belum optimal. Salah satu penyebabnya karena belum ada mekanisme penyelesaian konflik lahan yang ideal.
Di tengah situasi ini dalam upaya percepatan penyelesaian ratusan kasus konflik lahan yang terjadi di provinsi Jambi, DPRD Provinsi Jambi telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan DPRD provinsi Jambi.
Pansus Konflik Lahan telah bekerja selama 5 bulan lebih. Dalam kurun waktu tersebut, pansus telah menerima ratusan laporan terkait konflik lahan di provinsi Jambi yang bersumber dari masyarakat, NGO, maupun pemerintah.
Hanya saja sampai saat ini penulis melihat belum ada formulasi untuk penyelesaian berbagai kasus konflik lahan di Jambi. Padahal Pansus Konflik Lahan Provinsi Jambi diharapkan menghasilkan rekomendasi yang dapat menjadi solusi jangka panjang dan paripurna bagi berbagai persoalan konflik lahan yang terjadi di Indonesia.
Kementerian ATR / BPN sebagai instansi yang diharapkan memberikan solusi dibatasi kewenangan antara kawasan hutan dan areal lainnya. Karena, kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Namun ada harapan, saat ini pemerintah sedang berupaya menyusun sebuah peta tunggal Indonesia, dengan menggunakan teknik-teknik pemetaan partisipatif dan transformasi konflik melalui sebuah inisiatif bernama Satu Peta. Di sebut Partisipatif karena dalam penyusunan peta ini semua pihak terlibat.
Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy dalam rangka mewujudkan Tertib Administrasi Pertanahan masih dipersimpangan jalan, karena masih banyaknya permasalahan yang muncul terkait dengan sengketa kepemilikan dan sengketa duplikasi alat bukti kepemilikan tanah.
Sebelum ada Kebijakan Satu Peta (KSP), Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki data, peta, dan informasi geospasial masing-masing. Akibatnya, makin banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan dan mengakibatkan konflik lahan di Provinsi Jambi.
Tidak adanya satu peta tata guna lahan sebagai rujukan bersama serta proses peradilan yang lamban dan seringkali tidak berfungsi mengakibatkan mereka yang merasa dianiaya tidak punya banyak pilihan untuk mendapatkan keadilan, sehingga sengketa terus berlanjut dan terkadang berujung pada kekerasan.
Presiden Joko Widodo mempercepat pelaksanaan KSP melalui Peraturan Presiden No. 9/2016. Hasilnya, telah diluncurkan geoportal KSP sejak 2018 lalu. Selain peta dasar, geoportal berisi berbagai peta tematik hasil kompilasi dan integrasi dari berbagai instansi pemerintah agar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik lahan.
Kebijakan satu peta dilakukan melalui tiga tahapan yakni kegiatan kompilasi, integrasi dan sinkronisasi. Melalui kegiatan kompilasi telah terkumpul 83 dari 85 peta tematik dengan persentase pencapaian sebesar 98 persen.
Pelaksanaan kebijakan satu peta sudah hampir rampung. Pemerintah telah berhasil mengompilasi 84 peta tematik dari 85 peta tematik yang ditargetkan. Dengan peta spasial ini, kita bisa lebih fokus mengidentifkasi dan menyelesaikan masalah tumpang tindih antara informasi geospasial tematik yang terjadi di berbagai daerah.
Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 77,3 juta hektare lahan atau 40,6 persen dari total luas wilayah Indonesia yang statusnya tumpang tindih atau overlapping. Hal inilah yang memicu sengketa lahan dan menghambat kepastian.
Hal ini menyiratkan tiga hal terkait tata guna lahan dan penanganan konflik agraria. Pertama, sengketa atau konflik lahan bersumber dari tumpang tindih lahan. Angka 77,3 juta bukan angka yang kecil, dan tentu saja dalam wilayah sebesar itu jumlah orang yang ‘terlibat’ konflik lahan sangat besar. Ini merupakan garis dasar untuk penanganan konflik lahan.
Kedua, kebijakan satu peta menjadi pedoman geospasial untuk penanganan konflik lahan. Langkah selanjutnya ialah menerjemahkan atau membumikan peta geospasial ke ranah tapak (kondisi lapangan).
Ketiga, diperlukan kerja bersama jajaran kementerian/kembaga dan pemerintah daerah agar kebijakan ini bisa terlaksana optimal.Konflik lahan merupakan puncak gunung es dari ruwet dan kusutnya tata guna lahan di Indonesia dengan varian dampak multidimensional.
Membumikan data geospasial dalam konteks penanganan konflik lahan, data geospasial (DG) harus dilengkapi dengan pemetaan konflik, yang di antaranya meliputi subyek yang berada dalam lokasi atau area spasial, struktur atau relasi sosial, sistem nilai, perangkat budaya, dan kondisi fisik ekosistem.
Data geospasial menunjukkan kondisi ruang bumi, sedangkan pemetaan konflik menyajikan apa isi dari ruang bumi tersebut.Beberapa organisasi penggiat penanganan konflik lahan mengembangkan metode untuk pemetaan konflik lahan.
Makna kebijakan satu peta bukan hanya teknis geospasial, tetapi kebijakan ini ialah kohesi politik kebijakan dengan transformasi budaya teknokrasi. Hal ini sangat relevan dalam percepatan penanganan konflik lahan. Karena selama ini, dalam beberapa kasus, konflik lahan juga bersumber belum sinkronnya peta tata guna lahan antar sektor.
Kebijakan satu peta merupakan sebuah bentuk koreksi terhadap kebijakan-kebijakan masa lalu yang membuat tata guna lahan menjadi eksklusif, tidak transparan, lemah kepastian hukum, bahkan menimbulkan kerentanan sosial. Kerja sama antara para pihak, antar seluruh anak bangsa, tidak memandang asal-usul dan latar belakang sangat diperlukan.