‘Sakit’, kata tersebut pasti tidak asing bagi kalian. Manusia kerap menggunakan kata sakit ketika merasa tidak nyaman di bagian tubuh atau menderita dibagian tubuh. Ketidaknyamanan fisik ini dapat dipicu oleh kondisi lain seperti adanya luka-luka sayatan, benturan, paparan suhu yang tidak biasa dan beragam penyakit lainnya. Sakit adalah gangguan fungsi normal individu termasuk keadaan organisme sebagai kesatuan sistem biologis dan cara penyesuaian sosialnya (Pemons, 1972). Sedangkan, menurut Oxford English Dictionary, sakit merupakan suatu keadaan ketika badan atau sebagian dari organ badan fungsinya terganggu atau menyimpang.
Lalu, bagaimana dengan ‘sakit hati?’ Apakah kalian pernah mendengar atau bahkan merasakan hal yang disebut dengan sakit hati? Sepertinya, perasaan ini pernah dialami dan dirasakan oleh semua orang. Bahkan, manusia menganggap sakit hati merupakan hal yang umum untuk dirasakan. Terdapat beberapa alasan yang sering disebutkan orang sebagai pemicu munculnya sakit hati. Beberapa diantaranya karena putus dengan pacar, disakiti teman, ditinggal suami atau istri, kehilangan orang yang dikasihi, gagal dalam bidang usaha dan sebagainya. Dikalangan remaja, banyak yang mengaitkan sakit hati tersebut dikarenakan ‘gagal move on’ dan ‘cemburu’.
Apakah itu semua benar? Sebenarnya, sampai saat ini belum ada riset atau penelitian asli yang menyatakan bahwa gagal move on, cemburu ataupun alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya memang merupakan faktor pemicu timbulnya sakit hati.
Namun, berdasarkan informasi yang pernah diberikan oleh bapak Wahyu Wicaksono, Ph.D.s dalam salah satu kuliah tamu untuk mahasiswa psikologi semester satu Universitas Brawijaya tahun 2018, beliau menjelaskan bahwa semua perasaan yang dapat dirasakan oleh manusia diatur dan terpusat di otak. Tepatnya pada otak bagian tengah atau midbrain. Beliau juga menyebutkan bahwa manusia kerap salah ketika menunjukan letak sakit hati dengan menyentuh bagian dada, yang seharusnya menyentuh area dahi yang terdapat diantara kedua alis. Hal ini menjelaskan bahwa perasaan sakit hati sebenarnya juga diatur oleh otak. Penjelasan inilah yang dapat menghubungkan alasan ‘gagal move on’ dan ‘cemburu’ sebagai salah satu penyebab sakit hati, dikarenakan sama-sama diatur dan terpusat di otak.
Untuk menanggapi ataupun menanggulangi perasaan sakit hati ini ada beberapa reaksi yang sering dilakukan manusia. Ada yang menjadi dendam, menerima dan menyimpan perasaan tersebut dalam bentuk kebencian. Ada juga yang bertindak destruktif baik kepada dirinya, benda-benda disekitarnya, bahkan orang lain. Tindakan destruktif tersebut dapat berupa menganiaya, memukul dan menyakiti diri sendiri, merusak benda disekitar bahkan melukai orang yang menyebabkan sakit hatinya. Namun ada pula yang dapat menerima perasaan tersebut dengan ikhlas dan sabar, menganggap hal tersebut sebagai pelajaran dan perasaan yang harus dikalahkan dan memaafi orang yang pernah membuatnya sakit hati.
Mari kita menggaris bawahi beberapa tindakan destruktif yang dapat timbul untuk menanggulangi rasa sakit, seperti tindakan memukul, menyakiti, merusak, dan melukai, baik diri sendiri ataupun benda dan orang sekitar. Apakah tindakan-tindakan tersebut dapat membuktikan bahwa sakit hati dapat menimbulkan agresi?
Sebelumnya, mari kita menyinggung sedikit mengenai agresi. Para Peneliti agresi biasanya mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang bertujuan untuk menyakiti dan melukai orang lain yang tidak ingin dirugikan. Definisi ini menyoroti tiga hal penting. Pertama, agresi harus merupakan perilaku yang asli atau sebenarnya. Bukan berupa emosi, pikiran, atau ingatan, tetapi perilaku nyata yang dapat diamati, seperti pukulan atau kutukan verbal. Kedua, agresi harus memiliki tujuan dan dilakukan secara sengaja. Orang yang melakukan agresi bertujuan untuk melukai atau menyakiti orang lain, bukan semata-mata sebuah ketidaksengajaan atau kecelakaan. Ketiga, agresi selalu menimbulkan kerugian dan bahaya yang tidak diinginkan kepada pihak lain, yaitu korban tidak ingin dirugikan.
Dengan demikian, perilaku seperti masokisme dan bunuh diri tidak dapat diklasifikasikan sebagai salah satu perilaku agresi. Sama halnya dengan kekerasan, kekerasan merupakan hal yang berbeda dengan agresi. Kekerasan biasanya didefinisikan sebagai kerusakan fisik ekstrem dengan cedera atau kematian sebagai tujuannya. Namun, kekerasan adalah bentuk spesifik agresi. Semua kekerasan bersifat agresif, namun tidak semua agresi adalah kekerasan.
Agresi itu sendiri dapat diatasa melalui kajian ilmu psikologi sosial, yang terpata adalah dengan melakukan pengamatan tingkah laku yang baik. Pengamatan ini dapat berupa pemberian contoh perilaku yang baik terlebih dahulu kepada yang lebih muda mengenai perilaku ketika menyelesaikan suatu nasalah, termasuk permasalahan sakit hati. Kedua adalah katarsis, Freud menyebutkan sebagai katarsis sebagai upaya untuk menurunkan rasa marah dan kebenciannya dengan cara yang lebih aman, sehingga mengurangi bentuk agresivitas yang sekiranya akan muncul. Umumnya kataris berupa kegiatan fisik yang menguras tenaga yang dapat megurangi rasa marah ataupun sedih yang ditimbulkan dari rasa sakit hati.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa, perasaaan sakit hati merupakan perasaan yang diatur dan terpusat diotak. Dimana perasaan ini sering disangkut-pautkan ketika perasaan mengalami ketidaknyamanan setelah mengalami sebuah kejadian.
Belum dapat dikatakan secara pasti bahwa sakit hati dapat menimbulkan agresi. Namun, ketika sakit hati manusia kerap melakukan tindakan destruktif, dimana tidak semua tindakan destruktif yang ditimbulkan oleh rasa ingin menanggulangi sakit hati dapat diklasifikasikan sebagai agresi. Tindakan-tindakan tersebut akan menjadi agresi apabila memiliki tujuan untuk menyakiti orang lain yang tidak ingin dirugikan, dan apabila tindakan itu memang berupa perilaku nyata yang dapat diamati.
PENULIS : Aliyah Salsabila (185120300111005)
A. Psi. 2
Jurusan Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Brawijaya
2018
Referensi:
Bushman, B.J., & O’Brien, E.H. (2017). Aggression. Reference Module in Neuroscience and Biobehavioral Psychology. Doi:10.1016/b978-0-12-809324 De Jong, D. C., & Reis, H. T. (2016). Love and Intimacy. Encyclopedia of Mental Health, 25–32. doi:10.1016/b978-0-12-397045-9.00107-5. diakses pada 22 oktober 2018, dari https://placeboresearchgroup.org/
KBBI. diakses pada 22 Oktober 2018, dari https://kbbi.web.id/sakit
King, L. A. 2014. Psikologi Umum Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.